THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Kamis, 31 Juli 2008

HARUSKAN UN DIHAPUS????

“Proses sebelum UAN”
(Beberapa nama bukan nama sebenarnya)
 Jum’at 7 April 2006
( Penulisan Pukul: 15.30 )
Keinginan kami dalam mencari tahu mengenai keadaan UAN semakin memuncak. Ditambah lagi, belum ada kabar sama sekali dari sekolah mengenai UAN. Sementara, siswa dari sekolah lain sudah sibuk dalam persiapan UAN. Tapi, keadaan sekolah kami masih datar-datar saja. Tidak ada sesuatu yang Wah untuk persiapan UAN. Kami yang kelas tiga masih konsen dengan proyek yang sedang kami gencarkan. Proyek budidaya belut serta pembuatan kolam renang muslim.
Rasa penasaran kami tentang UAN yang sudah memuncak, menerbitkan keinginan kami untuk menanyakannya ke sekolah induk (SEKOLAH INDUK Salatiga).
Kami memberanikan diri untuk menghubungi pihak SEKOLAH INDUK guna mencari tahu tentang UAN. Hal itu terpaksa kami lakukan karena pihak sekolah kami sama sekali tidak pernah menyinggung UAN. Kami yang kelas tiga sudah begitu yakin bahwa UAN memang sesuatu yang tidak logis. Kami lebih memacu pada pemanfaatan ilmu yang kami peroleh ketimbang memikirkan UAN yang malah hanya membuat pusing. Bahkan, kami menyadari penuh bahwa sebenarnya belajar bukan hanya di sekolah. Tapi belajar adalah di kehidupan.
Biar pun demikian, kami bertiga merasa masih ada yang kurang. Belum ada sesuatu yang menantang bagi kami. Apalagi, keinginan merasakan UAN memang sedang memuncak.
Sekitar pukul 10.00 kami pun menghubungi SEKOLAH INDUK. Kami menanyakan beberapa hal mengenai UAN. Dan yang menjawab adalah Pak AB. Dialog pun berlangsung cukup lama. Proses Tanya jawab mengalir terus. Hal yang membuat kami semakin pesimis untuk mengikuti UAN adalah ketika mendengar bahwa kami semua belum terdaftar UAN. Belum terdaftarkannya kami tersebut dikarenakan kami belum memiliki nila semester 1. Maklum, kemarin kami tidak mengikuti semester 1.
Kesimpulan sementara, kami dan semua teman kami di kelas tiga tidak akan bisa mengikitu UAN.
Rencananya selepas SMP, kami semua masih tetap ingin meneruskan di sekolah yang sama. Namun bagi kami, UAN masih tetap diperlukan. Karena, siapa tahu suatu ketika hati kita tergoyah dan berubah untuk mencari ilmu di tempat yang lain. Biar bagaimanapun juga, keinginan hati sulit dicegah.
UNTUK ANTISIPASI. Hal itu juga lah yang membuat kami tertarik untuk mengikuti UAN. Tapi, antisipasi tersebut tidak sepenuhnya mendasari keinginan kami. Rasa penasaran terhadap UAN lah yang paling membuat kami ingin mengikutinya. Sebenarnya UAN itu bagaimana sih? Mengapa banyak yang was-was menghadapinya.
Sempat berfikir di benak kami, jikalau nanti teman-teman yang lain tidak tertarik untuk mengikuti UAN, kami bertiga lah yang akan maju. Sekalipun nantinya kami akann menyusul tes semester 1 atau ujian-ujian yang lain. Insya Allah kami siap.
Sabtu, 8 April 2006
(Penulisan Pukul: 15.30)
Hari ini kami sekelas membuat proposal bersama-sama. Pembuatan proposal di lakukan dengan pembagian bagian-bagian dari proposal. Setelah tugas kami bertiga tuntas, kami mulai bercerita mengenai berita kemarin kepada sejumlah teman. Terus terang, kami bertiga belum berani melibatkan orang banyak. Obrolan demi obrolan pun semakin berlangsung. Hingga akhirnya beberapa yang lain mengartikan lain mengenai obrolan kami. Mereka mengira kami membicarakan hal-hal yang tidak penting sehingga menghambat proses pembuatan proposal. Kesalah pahaman pun mulai terjadi. Lantas keributan membahana disela sudut kelas. Teriakan, tangisan, dan kemarahan menyelimuti suasana. Adik-adik kelas tidak ada yang berani mendekati kelas tiga. Akhirnya, kami menceritakan semuanya kepada teman-teman yang lain di kelas.
Rabu 12 April 2006
(Penulisan Pukul:16.30)
Sudah semakin medekati UAN. Kami mendapati sekolah-sekolah lain sudah bersiap-siap menghadapi UAN. Dan seperti kamarin, sekolahku masih biasa-biasa saja. Belum ada perubahan yang mengarah pada perencanaan menghadapi UAN.
Hari ini kami sekelas berkumpul dan membicarakan UAN. Kali ini, kami didampingi oleh Mbak Nurul. Kami pun berterus terang mengenai pencarian informasi ke SEKOLAH INDUK kemarin. Dan Mbak Nurul menegaskan bahwa kami semua sudah terdaftar UAN di DIKNAS.
Kami yang masih belum puas dengan jawaban Mbak Nurul langsung menemui Pak Bahrudin, kepala sekolah kami. Dengan ditemani dua orang teman yang lain, kami pun berdiaog dengan Pak Bahrudin. Ternyata benar, bahwa kami memang sudah terdaftar UAN. Jadi, yang mau mengikuti UAN tinggal ikut. Dan yang tidak, makan tidak perlu di pakasa untuk itu.
Senin 17 April 2006
(Penulisan Pukul:23.30)
Datanglah surat mengenai UAN dari sekolah induk (SEKOLAH INDUK). Kebimbangan kami semakin nyata.
Malam ini, kami dan teman-teman di kelas tiga mengikuti rapat yang juga dihadiri oleh beberapa guru serta wali kami. Panjang lebar kami membicarakan tentang UAN. Dengan berbagai pertimbangan, terutama dengan adanya sebuah konsep SMA yang begitu keren. Akhirnya, kami dan teman-teman lainnya memutuskan untuk tidak mengikuti UAN. Ijazah bukanlah segalanya dalam hidup ini.
Konsep SMA Alternatif sudah cukup meyakinkan. Apalagi, Ujian Akhir sekolah yang ada bukan seperti UAN. Namun, siswa diberikan keluasan untuk membuat karya yang bermanfaat bagi orang lain yang akin dinamai Disertasi. Disertasi ini nantinya akin ditandatangai oleh beberapa provesor ternama di Indonesia. Selain itu, siswa juga diberi keluasan untuk merangkum semua hal yang telah di dapatnya selama SMP.
Kami semakin mantap untuk tidak mengikuti UAN. Sebab, ijazah… What for Gitu loch
Selasa 18 April 2006
(Penulisan pukul : 16.23 )
Kami terlalu khilaf. Dan kami lupa dengan cita-cita dan tujuan kami semula. Kami menginginkan UAN bukan untuk seulas ijazah. Namun, hanya ingin survei, melihat, dan merasakan detik-detik UAN. Kami ingin mencari ada apa dibalik kekacauan UAN. Kami ingin mencari apa yang membuat pemerintah masih mempertahankan adanya UAN. Selain itu, kami juga lupa bahwa kami ingin antisipasi. SMA di Indonesia memang tidak ada yang luput dari penglihatan ijazah dengan nilai-nilai yang belum tentu murni. Kami ingin antisipasi dengan adanya hati yang mungkin akan selalu berubah-rubah. Tapi, belum sedikitpun terbersit dibenak kami bahwa kami akan meninggalkan SMP Alternatif. Kami masih semangat untuk meneruskan perjuangan. Justru dengan mengikuti UAN, kami akan bisa melihat dan merasakan langsung setidak beresan pendidikan.
Keputusan tadi malam apakah masih bisa diubah?. Kami yang sudah lunglai hanya bisa merenung dan berfikir tajam. Sampai teringat satu hal bahwa kami masih mempunyai keputusan. Jadi, ikut atau tidak ikut keputusannya adalah di hari ini. Sebab, besok sudah mulai ujian praktek. Detak jam pun semakin berlalu. Semua teman-teman kami telah memutuskan untuk tidak mengikuti UAN. Hanya kami bertiga yang begitu menginginkan UAN. Tapi, keberanian untuk menyatakan UAN pun akhirnya muncul. Biar pun hanya bertiga kami akin berusaha untuk menggapai tujuan kami semula. Tentang jawaban atas pertanyaan kami Apa Uan Harus Dihapus?.
Selepas sholat berjamaah, kami dan teman-teman di kelas tiga berkumpul dan membicarakan UAN. Dan telah ada keputusan bahwa yang mengikuti UAN hanya kami bertiga ditambah Faqih. Jadi, yang mengikuti UAN terbilang empat orang. Proses tanya jawab dan curhat pun terkesan haru. Teman-teman bertanya mengapa kami tiba-tiba memutuskan untuk mengikuti UAN. Hanya satu jawaban kami. Untuk antisipasi. Kami belum bisa mengungkapkan tujuan kami yang paling inti. Sebab, kami belum begitu yakin dengan hasilnya.
Teman-teman seakan melepaskan kami sebagai wakil dari mereka. Padahal, kami belum tahu apa kami bisa memberikan yang terbaik untuk mereka. Ada satu pertanyaan terahir yang sempat kami lontarkan.
“Bagaimana jika kami tidak lulus?” dan Alhamdulillah, teman-teman tidak mempermasalahkan itu. Yang penting bagaimana caranya kami bisa memberikan apa yang menurut kami terbaik untuk semuanya. Masalah hasil, itu urusan belakang.
Kami bertiga benar-benar semangat. Semua teman-teman mendukung kami. Mereka akan tetap menerima kami meski nantinya kami tidak lulus. Satu pesan mereka yang selalu kami ingat. “Jangan Pernah Menganggap UAN Adalah Beban Hidup.”
Inilah wujud kebahagian kami bersekolah di Alternatif. Dimana kami memperoleh kebebasan luas untuk memilih apa yang menurut kita baik. Apalagi, bila nantinya kami tidak lulus, kami masih bisa meneruskan ke jenjang SMA. Karena yang dinilai dari siswa adalah bagaimana siswa berproses. Masalah hasil, itu adalah urusan Yang Maha Kuasa.
Rabu 19 April 2006
(Penulisan pukul: 11.25)
Dengan niat yang begitu ikhlas, kami pun menuju SEKOLAH INDUK dengan ditemani Pak Achmad, guru kami. Sesampai di SEKOLAH INDUK, terjadi percakapan singkat antara Pak Achmad dan Pak AB.
Ujian kali ini masih ujian praktek. Pasalnya, kali ini kami mengikuti kelas 3b. Pihak SEKOLAH INDUK menyambut kami dengan baik.
Bahagia. Itulah yang kami rasakan saat ini.
(Penulisan pukul : 17.55)
Kebahagiaan kami tidak berlangsung lama. Tidak ada dasar apa-apa, tiba-tiba saja ada suatu perasaan yang mengganjal. Perasaan tidak enak dan perasaan bimbang yang berlebihan. Sampai akhirnya kami mengingat wajah kecewa Pak Achmad saat mengantarkan kami ke SEKOLAH INDUK. Tidak hanya itu, kami juga sempat bertanya-tanya. Apakah teman-teman benar-benar merelakan kami untuk mengikuti UAN?. Apalagi, siang tadi terdengar kabar bahwa keadaan kelas tiga menjadi berubah. Banyak yang tidak bersemangat untuk belajar dikarenakan berkurangnya siswa. Kami benar-benar kalut. Pikiran kami kacau. Belajar jadi tidak konsen sama sekali. Selalu terbayang tatapan kecewa teman-teman dan tatapan kecewa Pak Achmad.
Apa iya, kami akann mundur?. What should We do,Now?.
Kamis 20 April 2006
(Penulisan pukul : 12.03)
Hari ini kami berangkat ke SEKOLAH INDUK tanpa ditemani oleh Pak Achmad. Keberangakatan kami tidak diketahui oleh Pak Achmad.
Kami benar-benar tidak mau merepotkan Pak Achmad. Kami juga tidak mau menghambat proses belajar teman-teman hanya karena Pak Achmad pergi mengantarkan kami. Perjalanan menuju SEKOLAH INDUK dengan menggunakan Angkot memang terkisar begitu jauh. Apalagi sebelum sampai tujuan, kami masih harus jalan kaki sekian kilometer. Tapi, itu tidak jadi masalah. Yang terpenting kami bisa mengikuti ujian dan teman-teman bisa kembali belajar dengan tenang.
Hari ini teman kami Zulfi memutuskan untuk mengikuti UAN.
Ujian kali ini adalah fisika. Kami mendapati serempak anak kelas tiga di SEKOLAH INDUK mengerubungi kisi-kisi yang diberikan oleh Pak Yudhi, Guru fisika. Sesudah membaca kisi-kisi, mereka langsung mengeluarkan buku-buku yang menyangkut kisi-kisi tersebut. Apa ini yang dimaksud dengan menguji kemampuan selama bejar tiga tahu?. Kalau kenyataannya itu yang terjadi, biarpun tiga tahun tidak belajar juga masih bisa. Selagi masih ada buku yang bisa kita pelajari, kenapa tidak?. Kami juga mengalami hal yang sama. Ada suatu soal yang sama sekali belum pernah kita pelajari. Mungkin terlewatkan karena soal itu tidak begitu penting. Demi supaya bisa praktek dan supaya memberikan kesan baik, kami pun langsung mempelajari soal tersebut saat itu juga. Alhasil, kami pun bisa langsung menyerapnya. Berarti, saat itu juga semua siswa disitu bukan belajar dari kebutuhan. Tapi, siswa belajar dari apa yang diminta guru. Tidak Logis.
Siang itu juga, Pak AB melihat teman kami Zulfi yang kemarin tidak mengikuti ujian. Pak AB marah besar. Kami dikira plin-plan.
”Katanya empat? Kok ini lima?”
Kami menjawab apa adanya. Karena memang benar, Zulfi memang ingin mengikuti ujian dan kemarin Zulfi tertinggal. Pak AB seperti tidak bisa menerimanya. Zulfi dipanggil dan kami bertiga ganti baju untuk olah raga.
Di dalam kamar mandi, kami mendengar teriakan Pak AB yang begitu menusuk-nusuk hati kami. Zulfi berusaha menerangkan. Tapi Pak AB tidak mempedulikannya. Kami bertiga masih berusaha untuk tegar. Apapun yang terjadi, kami menganggap ini juga adalah cobaan. Di kamar mandi tadi, kami benar-benar mehanan air mata yang sudah hampir tumpah. Tapi, kami harus kuat. Perjuangan tidak boleh sampai disini.
Seusai ujian olah raga, kami tidak mendapati Zulfi. Sampai kami mengetahui bahwa Zulfi telah mengundurkan diri. Dan Zulfi pulang ke sekolah.
Kejam, benar-benar kejam. Begitu teganya mereka merampas kebebasan pada seorang siswa.Ujian saja baru kemarin. Surat persetujuan saja belum resmi diserahkan. Penandatanganan pun belum ada. Mengapa berani merampas semuanya.Sangat tidak mendidik.
Pak AB SMS Pak Achmad dengan kata-kata yang cukup menyinggung. Semua SMS dari Pak AB diforward Pak Achmad ke hp kami. Kami benar-benar marah. Hati kami mendidih. Kami ingin menumpahkan tangis saat itu juga.
Kami benar-benar lelah dengan praktek olah raga. Kami tidak kuat kalau harus pulang seperti saat kita berangkat. Akhirnya, dengan berat hati kami meminta Pak Achmad untuk menjemput.
Kami mulai merasakan sepi. Sepi tanpa adanya teman-teman yang dulu selalu ada. Kami bagaikan orang asing di SEKOLAH INDUK. Dari pihak sekolah juga tidak ada yang menemani. Maklum, semua guru di Alternatif aktif menemani kegiatan belajar. Dan kami juga tidak mau merepotkan. Selagi kami masih bisa menanggulangi keadaan, kami sanggup menjalaninya. Tapi, kami masih bertanya-tanya apa teman-teman sudah tidak mau menerima kami?. Kalau mereka masih mau menerima kami, mengapa tatapan mereka begitu tidak mengenakkan?.
Sampai di sekolah, ada informasi bahwa nanti malam akan diadakan rapat pribadi untuk siswa kelas tiga. Termasuk yang mengikuti UAN. Apa yang akan dibahas, kami belum mengetahuinya. Semua teman-teman tidak mau memberitahukannya. Kami semakin getir dan gelisah.
(penulisan pukul: 23.02)
Rapat kali ini terbilang sangat pribadi. Semua berkumpul pukul 19.00 di kelas. Sampai akar permasalah pun bisa diketahui. Terjadi kesalah pahaman antara siswa yang mengikuti UAN dengan siswa yang tidak mengikuti UAN.
Siswa yang tidak mengikuti merasa dikhianati dengan adanya keputusan mendadak tersebut. Bahkan, mereka sampai menarik kesimpulan bahwa dengan ikutnya kami di UAN berarti kami sudah memutuskan untuk berpindah sekolah. Salah satunya itu lah yang membuat mereka kecewa. Dan sebaliknya, kami yang mengikuti UAN juga seperti di khianati dan di singkirkan. Teman-teman yang tidak mengikuti UAN semula seperti mendukung kami. Tapi setelah itu, mereka seperti menyingkirkan kami. Semua perasaan ditumpahkan saat itu juga. Banjir air mata mulai memenuhi kelas. Semua masalah telah tuntas. Kami menegaskan bahwa dengan ikutnya kami dalam UAN hanyalah untuk mencari pengalaman. Itu lah alasan yang paling tepatnya.
Kami masih belum memberitahukan tujuan kami yang lain. Karena yang paling inti adalam mencari pengalaman hidup. Bagi kami, menjalani proses yang telah kami rencanakan juga merupakan pengalaman hidup yang berharga. Rencana pertama memang terbilang cukup lama. Mungkin, akan sampai tiga atau empat Minggu. Tapi, rencana survei, melihat dan merasakan UAN ternyata merupakan rencana dengan proses yang tidak mudah.
Bagaimana Hasilnya Nanti?
Sabtu 22 April 2006
(Penulisan pukul :15.30)
Praktek kali ini adalah Bahasa Indonesia. Semua siswa diminta untuk membuat surat undangan. Kami mendapati siswa dari SEKOLAH INDUK membawa buku yang diletakkan di laci. Ketika guru lengah, jari mereka mulai menari menyusuri tiap kata-kata yang tertera di buku tersebut.
NYONTEK. Itu lebih tepatnya. Dan kegiatan itu tidak hanya dilakukan sekali. Kegiatan nyontek sangat tidak efektif. Siswa akan cenderung ketagihan untuk mendapatkan sesuatu tanpa berusaha.
Rabu 26 April 2006
(Penulisan pukul :17.54)
Hari ini dan lima hari yang akan datang, kami break. Pasalnya, lima hari ini diperuntukkan siswa yang mengikuti remidi.
Sebenarnya remidi untuk apa?. Apa untuk menambah nilai akademis?.
Senin 1 Mei 2006
( Penulisan pukul : 45.33)
Mulai hari ini sampai seminggu kemudian, kami menyusul semester gasal. Entah untuk apa? Yang jelas mereka berkata bahwa pengumpulan nilai semester satu adalah salah satu dari syarat mengikuti UAN. Lantas apa hubungannya?.
Kesimpulan kami, mungkin nilai itu digunakan untuk mengisi raport.
Senin 8 Mei 2006
(Penulisan pukkul : 17: 55)
Hari ini sampai seminggu berikutnya, kami mengikuti Ujian Akhir Sekolah (UAS).
♥♥♥
“ Menjelang UAN “
Senin 22 Mei 2006
(Penulisan pukul: 19.58)
UAN tidak kami buat sebagai beban. Jadi, kami membuat UAN bukanlah beban hidup yang berat. Tapi, ketegangan begitu terasa ketika memasuki kelas. Semua serba disiplin. Mulai dari baju, sampai tempat duduk yang kita tempati. Bahkan, sebalum memasuki ruangan kami musti baris terlebih dahulu. Padahal, kami yang dari Alternatif hanya berempat. Ujian bahasa Indonesia kali ini masih kami anggap kurang flexible. Dari sekian bab yang kami tekuni hanya 25 persen yang keluar. Benar-benar tak cukup untuk menguji kemampuan kami.
Dan saat ini, semua pelajar Indonesia sedang memecahkan soal yang sama. Padahal, kemampuan yang dimiliki kan berbeda. Bisa jadi, ada pelajar yang suka dan begitu mahir dengan hal yang berkaitan dengan drama. Tapi, sewaktu UAN, bab drama tidak muncul satu pun. Berarti ia tidak sepenuhnya mengukur kemampuan yang dimiliki. Sekiranya itulah tanggapan sementara kami.
Selasa 23 Mei 2006
(19.32)
UAN kali ini matematika. Kami sengaja membuat suasana lebih santai. Karena jika suasananya tegang , pasti akan sulit untuk berfikir luas. Kami sudah tidak lagi memikirkan lulus atau tidak yang kami pikirkan adalah bagaimana memecahkan soal. Apapun hasilnya, itulah yang terbaik untuk kami. Setidaknya kami sudah berusaha dan berdoa. Masalah lulus atau tidak yang mentukan adalah takdir.
Selasa 24 Mei 2006
(14.29)
Ini adalah puncak UAN. Dan rencana pertama kami berjalan sampai selesai. Dan itu berarti besok kami sudah mulai terjun dan beraksi untuk ke rencana yang berikutnya.
♥♥♥
2. Selepas UAN. Kami wawancara ke beberapa siswa mengenai kesan mereka terhadap UAN. Dan bertanya mengenai tanggapan mereka jika UAN dihapus
“ UAN itu penting nggak sih?. Gimana kalau UAN dihapus?.
Aby : Uan itu penting banget soalnya, menurut aku pribadi, dengan UAN aku bisa mengevaluasi kemampuanku sendiri.
Wulan (SMPN 3 Salatiga)
Bagiku UAN itu penting. Soalnya, dengan UAN kita bisa mengukur dan mengevaluasi diri kita. Tapi, semisal tidak ada UAN aku masih tetap belajar soalnya belajar itu penting. Aku nggak setuju kalau UAN dihapus. Soalnya, itu satu-satunya jalan untuk mengukur kemampuan. Dan lagi, kalau kita nggak ikut UAN kita nggak akan bisa meneruskan ke jenjang yang labih tinggi.
Yang aku pertanyakan, kenapa Indonesia ada yang membuat sekolah Internasional?. Kalau bisa nih, seharusnya ada sekolah yang hanya menampun satu bidang aja. Biar lebih konsen.
Darojah (SMPN 9 Salatiga) Bagiku UAN tetap penting. Dan UAN jangan dihapus. Sebenarnya, aku juga tidak setuju kalau nilai kelulusan hanya ada pada mata pelajaran. Seharusnya semua mata pelajaran juga di ujikan.
Ariani (SMPN 9 Salatiga) UAN itu penting. Tapi, yang aku takutkan kalau nantinya semua yang aku kerjakan tidak bisa diteliti oleh computer. Dulu, ada temanku yang benar-benar pintar jadi nggak lulus. Kok bisa ya?.
Kesimpulan awal : Para pelajar belum bisa mengerti dengan apa yang dimaksud dengan mengukur kemampuan. Yang terpenting bagi mereka hanya bagai mana mencari ijazah untuk bekerja di hari yang akan datang dan bagaimana bisa meneruskan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Mungkin, itu tidak salah. Negara kita sudah membuat peraturan demikian. Dimana-mana, sekolah yang lebih tinggi membutuhkan ijazah untuk menerima siswa. Dan hampir semua lowongan kerja membutuhkan ijazah.
Sidiq (SMKN 2 Solo)
Kalau menurutku sih untuk masa-masa KBK ini nggak perlu diadakan UAN. Menurutku hasil tiga tahun yang dijalani murid bisa dirata-rata serta tindakan-tindakan moralnya sudah cukup untuk menentukan lulus tidaknya siswa itu.
Kesimpulan kedua : Tidak semua pelajar menyetujui adanya UAN.
“Menurutmu sekolah itu untuk apa?”

Wulan (SMPN 3 Salatiga)

Bagiku, sekolah itu cuman untuk buat kerja. Dan, sekolah juga bisa menambah pengalaman.

Darojah (SMPN 9 Salatiga)

Kalau bagiku sekolah untuk cari pengalaman. Kalau soal kerja, itu bisa di atur. Aku masih bisa meneruskan usaha Ibuku.
3. Pengakuan beberapa pihak mengenai UAN.
Kak Seto : Menurut kak seto, pada dasarnya Uan harus dihapuskan selama keadaan pendidikan di Indonesia belum merata dan terstandarisasi. Namun semua harus dibicarakan bersama semua pihak.
Pak Bahrudin : UAN memang harus dihapus. Sebab, tidak efektif jika UAN dijadikan untuk mengukur kemampuan. Kalian yang kelas tiga di SMP Alternatif, yang hanya berlimabelas saja tidak bisa diukur dengan alat ukur yang sama. Apalagi, untuk sekian juta anak di Indonesia.
Prof.Doctor.Insinyur, Muslimin Nasution : UAN Harus dihapus karena UAN sangat tidak efektif. Setiap siswa memiliki kemampuan masing-masing bukan hanya kemampuan dalam tiga bidang saja. Pendidikan di Indonesia memang rata-rata sudah tidak terarah. Seharusnya, seorang pelajar itu dididik untuk mengembangkan imaginasi yang ia miliki. Selain itu, siswa juga harus dididik dalam seni menanggulangi masalah. Siswa juga harus bisa menyampaikan gagasan yang ia miliki. Belajar seharusnya dibuat segembira mungkin (Joyfull). Dan yang paling penting, siswa juga harus rajin membaca.
UAN harus dihapus dan diganti yang lebih baik. Untuk menguji kemampuan tidak harus dengan UAN. kemampuan siswa bisa dinilai oleh pihak sekolah sendiri. Jadi biarlah sekolah yang menilai siswanya sendiri.
Iwan Hermawan ( SK Mendiknas) : UAN sangat bertentangan dengan UU No.20/2002 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 58 Ayat 1. Berdasarkan UU No.20/2002, KPI menilai, evaluasi pendidikan merupakan hak pendidik, sehingga yang menentukan kelulusan seorang siswa tetap berada di tangan masing-masing sekolah. Dengan keluarnya SK Mendiknas mengenai UAN, masa belajar siswa selama tiga tahun menjadi percuma karena cukup lulus UAN yang hanya berlangsung dua sampai tiga hari. Sebaliknya, siswa yang rajin belajar selama tiga tahun bisa tidak lulus kalau saat UAN sakit. Terlebih, SK itu hanya mengukur tingkat kelulusan siswa hanya dengan tiga mata pelajaran. ^Cetus Iwan dalam dengar pendapat dengan DPRD Jabar.^
Menurut Iwan, seluruh organisasi yang hadir pada kesempatan tersebut mengusulkan kepada Ketua DPRD Jabar agar pelaksanaan ujian akhir nasional yang sudah direncanakan tidak dijadikan sebagai penentu kelulusan peserta didik. Tapi ujian akhir nasional itu hanya sebagai alat untuk pemetaan standar pendidikan nasional. "Jadi, ujian akhir nasional ini sama sekali tidak dikaitkan dengan kelulusan peserta didik. Depdiknas menyerahkan sepenuhnya kewenangan penentuan kelulusan peserta didik kepada guru dan sekolah sesuai dengan UU No.20/2003," harapnya.
Agus Setia Mulyadi (Ketua Presidium FAGI Kota Bandung) : "Pelaksanaan ujian akhir nasional akan membebankan biaya kepada sekolah karena subsidi yang diberikan pemerintah ke sekolah menurut pengalaman tahun lalu tidak mencukupi untuk pelaksanaan ujian akhir nasional. Apalagi sekolah-sekolah swasta. Kami anggap pelaksanaan ujian akhir nasional merupakan pemborosan. Biaya untuk keperluan tersebut sekra Rp 235 milyar. Sementara itu, masih banyak sekolah yang bangunannya rusak dan memerlukan rehabilitasi, sehingga akan lebih baik jika uang tersebut dikompensasikan untuk rehabilitasi dan pembangunan infrastruktur yang diperlukan sekolah. Ada pun biaya yang sudah di keluarkan untuk pembuatan soal tidak masalah. "Jadi, bila ujian akhir nasional dibatalkan, uangnya bisa dikompensasikan untuk rehabilitasi sekolah
Drs. Dede Amar (Dari PGRI Kota Bandung ) mutu pendidikan setiap daerah tidaklah sama karena sarana dan prasarana penunjangnya pun belum sama. Sarana dan prasarana sekolah-sekolah di daerah relatif tertinggal dibandingkan yang di perkotaan. "Kami menilai, adanya inkonsistensi Mendiknas dalam keberpihakan kepada masyarakat miskin. Dana Rp 235 miliar untuk UAN, akan lebih baik kalau untuk membangun sarana dan prasarana sekolah di pelosok desa.
Drs. Edi Parmadi (Sekretaris Umum PGRI Jabar) : selaku organisasi profesi, PGRI tidak saya menolak SK Mendiknas. Namun yang perlu dipertimbangkan bagaimana menyikapi siswa yang nilainya di bawah rata-rata atau yang tidak lulus. Hal ini perlu disikapi dan alangkah baiknya dipikirkan sejak sekarang jangan sampai membiarkannya.
Cucu Syahputra (Koordinator Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S) SMU Bandung Timur) : minggu lalu secara serempak kami melakukan try out bersama dengan melibatkan sekira 1.000 siswa kelas 3 dari 19 SMU negeri/swasta. Soal-soalnya diambil dari kisi-kisi yang dikeluarkan Diknas yang sengaja dibagikan ke SMU-SMU untuk menjadi bahan latihan ujian. Hasilnya mencengangkan, 40-50% siswa ternyata tidak lulus.
Sumantri : Program UAN tersebut merugikan penyelenggara pendidikan swasta yang notabene dipegang oleh yayasan. Dia memaparkan bahwa kondisi sekolah swasta rata-rata dikelola pihak yayasan dengan apa adanya, dikelola oleh guru yang apa adanya dan latar belakang pendidikannya tidak diutamakan. Sementara siswanya hampir semua merupakan yang gagal diterima di sekolah negeri.

New Jilbaber

KETIKA AKU MEMULAI BERJILBAB


Aneh ya gambarnya???

Tapi gambar ini membawa banyak cerita.

Tahun 2005 yang lalu, gambar ini dibuat. Aku bukan termasuk orang yang pintar menggambar. Tapi waktu ini aku lagi suka-sukanya bikin gambar cewek pakek kerudung. Padahal saat itu aku belum memutuskan jadi jilbaber.


Ramadhan yang indah itu aku gemar nonton sinetron Kiamat sudah dekat yang dibintangi oleh Sazkia Adya Mecca. Lewat cerita itu aku tertarik dengan karakternya. Cerdas, tegas, dan berprinsip. Satu hal dari sinetron itu yang membuatku merasa terusik setiap hari. Sarah yang berjilbab. Sazkia berhasil memainkan peran Sarah dengan sangat baik.

Saat nonton, bayangan Sarah sering memudar ketika teringat film Senandung Masa Puber. Waktu itu Sazkia belum berjilbab.

Dalam hatiku sempat terucap “Andai ini artis kesehariannya pake jilbab, hmmm pasti keren”

Hari selanjutnya ada berita tentang Sazkia di infotainment. Diberitakan bahwa Sazkia ternyata sudah mulai menjadi jilbabar. Seketika kekagumanku bertambah. Aku makin suka nonton sinetron kiamat sudah dekat.

Pernah sekali waktu Sazkia keluar rumah nggak berjilabab. Padahal waktu itu dia sudah memutuskan untuk berjilbab. Tapi kemudian dia urung melangkah lebih jauh.

“Malu sama Allah,” akunya saat bercerita di infotainment

Hatiku tergerak lagi. Untuk kesekian kalinya aku mengumpulkan tekad. Tekat untuk menjadi jilbaber makin menguat.

Aku kembali menimang-nimang bagaimana kalau aku jadi jilbaber. Hmm… kelihatannya jadi jilbaber seperti memiliki dunia tersendiri. Tertutup tapi terbuka. Tertutup dalam urusan penampilan, tapi terbuka dalam segala pengetahuan.

Aku juga nggak perlu ngeceng. Hehehe… Kelihatannya kalau jadi jilbaber aku nggak akan terlalu focus memperhatikan penampilan. Yang penting sopan. Itu saja kiranya cukup. Yang terpenting adalah membuka wawasan seluas mungkin.

Masalah perilaku??? Ya… memperbaikinya sambil jalanlah. Yang pasti aku nggak boleh salah mengartikan dalam pemakaian jilbab. Hmmm bisa nggak ya??? Semoga deh…

Ya, semoga dengan berjilbab bisa mengangkat derajat di mata Allah. Semoga bisa menjadi perisai dari perbuatan tercela. Pokoknya semuanya harus LILLAH.

Ramadhan waktu itu aku mulai terbiasa mengenakan jilbab. Terutama di sekolah. Tidak ada yang curiga mengenai niatku untuk berjilbab. Karena teman-teman cewek yang biasanya nggak berjilbabpun juga berjilbab. Di keseharian, aku juga mulai membiasakan diri untuk berjilbab. Dan dengan berjilbab, semoga bisa menambah semangat untuk menggali ilmu agama lebih banyak.

Saat itu, aku sering menggambar cewek-cewek berjilbab, meski gambarnya tidak terlalu bagus. Tapi ada makna di setiap goresannya.hehe…

Aku juga mulai menyukai nama Az-Zahra. Entah apa yang membuatku menyukai nama itu. Padahal waktu itu aku belum begitu tahu sosok Az-Zahra. Tapi aku sangat mengidolakan nama itu. Sehingga tertarik memberikan nama itu pada namaku.

Hari-hari kulalui dengan optimis dan penuh harap semoga setelah lebaran aku bisa berjilbab.

Dalam buku khusus kutuliskan segala isi hati dan pengetahuan-pengetahuan agama yang kudapat. Kurasakan semangat yang lebih besar dari sebelumnya untuk lebih mendalami ilmu agama.

Hmmm…

Satu lagi yang kupikirkan saat itu. Kalau berkerudung, otomatis seragam sekolah harus panjang (Waktu itu masih ada kesepakatan berseragam di kelasku). Padahal seragamku kan pendek semua. Apa iya mau minta orang tua buat belikan seragam?

Terlebih waktu itu kan mau lebaran …

Lantas doaku selalu kuucap hampir setiap hari. Yang intinya,

“Ya Allah, kalau memang Engkau meridhoi Fina pakek jilbab maka beri kesempatan Fina untuk memenangkan lomba menulis,”

Aku tahu, Allah tidak ada akan menyia-nyiakan hamba-Nya.

Dan Alhamdulillah, beberapa hari sebelum lebaran ada kabar bahwa tulisanku mendapat juara.

Subhanallah, permohonan yang bagiku sulit, tapi sangat mudah bagi Allah…

Terimakasih ya Allah…

***


Waktu berjalan. Melewati lebaran dan memasuki sekolah. Tidak seperti teman-teman lain yang memakai seragam seperti biasa. Aku ke sekolah tanpa seragam. Itu karena seragam panjangku belum jadi. Dan saat itu sudah kubulatkan tekadku untuk berkerudung. Jadi meski tanpa seragam, aku tetap berusaha mengukuhkan niat.


Lihat saja foto di kelas yang satu ini. Hanya aku sendiri yang tanpa seragam. Biar tidak kentara, kututupi dengan jaket.hihihi…

Mungkin banyak yang surprise dengan tampilanku kali ini. 14 November menjadi hari pertamaku memasuki dunia baru dengan jiwa yang baru pula. I’m Be jilbaber… The nice momoent.

Eitz… sebelumnya aku emang pengen bikin sensasi baru. Tapi lama kelamaan aku menyadari akan banyaknya hikmah dibalik itu semua.

Terus terang aku lebih percaya diri dari yang sebelumnya. Aku juga merasa lebih enjoy.

Hari pertama dan beberap hari setelahnya memang banyak pertanyaan mengapa aku memutuskan untuk berjilbab. Bukan hanya teman-teman tapi juga guru, Kujawab saja apa adanya.

Malah ada yang sempat melontarkan kata, “Mbak Fina itu tobat,”

Hehehe… manusia kan musti tobat setiap waktu kan?

Yang nggak aku lupain adalah ketika aku sempat dijuluki SARAH (Tokoh utama di Kiamat Sudah Dekat. Dan yang dijuluki jadi Fandi adalah As’at teman sekelasku. Hihihi…

Dengan berjilbab,

Aku merasakan perubahan besar dalam hidup. Yah… aku merasakannya saat itu.

Entah… kapan Allah mulai mendatangkannya, tapi semenjak ramadhan kurasakan sebuah cinta yang begitu indah. Mulai menyadari bahwa cinta pada Allah itu sangat luar biasa indahnya. Dan mulailah timbul rasa rindu pada Rosulullah yang mendalam.

Ada satu lagi hal yang entah itu dating darimana. Hanya saja, tiba-tiba aku pengen mondok. Aku ingin merasakan kehidupan di pondok. Kebersamaan, tirakat, ilmu, semuanya.

19/6/2006

Aq nggak tahu kenapa akhir2 ini aq pengen banget jadi santri di pesantren. Mendalami ilmu agama, belajar nahwu. Kayanya lebih seru di pesantren. Pesantren sepertinya memberikan kesan-kesan lain.

Itu kurasakan sebelum menuliskan novel pertamaku yang Gus Yahya Bukan Cinta Biasa. Beberapa bulan kemudian, tiba-tiba aku jadi punya semangat untuk menulis novel. Kuluapkan rasa interestku pada pondok lewat cerita di novel yang bersetting pesantren. Settingnya memang belum kuat, karena aku sendiri kan belum pernah nyantri waktu itu. Dan aku juga belum mengenal lebih dekat seputar pesantren. Jadi saat membuat novel, aku lebih banyak interview ke teman-teman santri, ke guru, ke orang tua dan dari buku…

Salah satu tokoh utama ada yang kunamai Zahra. Aku mulai menambah kekagumanku pada Sayyidah Fathimah. Dan aku mulai banyak mencari tahu tetang kehidupan beliau.

Tokoh Zahra dalam novel, bukanlah imaginasi tentangku. Hanya saja, aku menginginkan banyak perubahan pada diriku menjadi seperti yang kuperlihatkan lewat peran Zahra dalam novel, atau bahkan lebihlah.hehe…

Memang nggak gampang menjadi pribadi yang mantap seperti yang kuinginkan lewat tokoh Zahra. Ya… setidaknya memberikan motivasi deh…

Sampai sekarang, aku menyukai jilbab, aku menyukai orang-orang berjilbab dan berakhlak baik, aku setia mengidolakan Sayyidah Fathimah, aku masih menyukai Sazkia Adya Mecca, aku menyukai pesantren. Semuanya adalah inspirasi dan motivasiku. Aku masih jadi manusia biasa yang perlu diperbaiki setiap harinya.

Meski aku masih seperti ini. Tapi percaya atau tidak, setelah berjilbab aku banyak menemui perubahan besar dalam hidup. Bukan merasa lebih baik dari orang lain. BUKAN.

Pokoknya aku merasa lebih baik dari yang sebelumnya. Aku merasa lebih baik dari Fina yang sebelum pakek jilbab.

LEBIH PERCAYA DIRI, ITU PASTI…

Hehehe,,,,

SO, let be jilbaber... Sob…

-Love to Allah, Love To Rosulullah, Love to All of you…-